Sabtu, 26 Maret 2011

Perjuangan RA Kartini

“Hidup itu akan indah dan berbahagia apabila dalam kegelapan kita melihat cahaya terang”
sepotong kalimat yang diucapkan R.A Kartini semasa hidupnya ini mampu memberikan arti dan spirit tersendiri dalam perjuangan meraih persamaan dan kesetaraan gender atau disebut juga emansipasi.
Siapa yang tidak kenal dengan R.A Kartini. Wanita kelahiran 21 April 1879 ini merupakan
perintis perubahan bagi kaum wanita. Ia lahir dari keluarga bangsawan yang berpikiran maju dan sosoknya yang cekatan, lincah, pintar, suka belajar dan haus akan ilmu pengetahuan. Saat usia 7 tahun, ia bersekolah di Sekolah Kelas Dua Belanda. Selain belajar di sekolah, ia juga kerap memperoleh pelajaran Bahasa Jawa, memasak, menjahit, mengurus Rumah Tangga dan pelajaran agama di rumahnya. Keluarganya sangat mengedepankan pendidikan. Sebagai seorang gadis kecil yang lincah ia hanya berpikir mengenai sekolah dan bermain. Hingga suatu hari seorang teman Belanda-nya bertanya mengenai cita-cita Kartini setelah tamat sekolah. Ia mulai memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut sampai akhirnya ia memikirkan untuk mengubah nasib kaum wanita di kemudian hari. Usia 12 tahun, setelah tamat sekolah dasar, Kartini menjalani masa pingitan. Hidupnya berubah, ia kesepian dan tidak boleh melanjutkan pendidikan. Hidupnya ibarat burung dalam sangkar emas. Keluarganya yang memegang teguh
adat lama, tidak menyetujui keinginan Kartini yang menghendaki perubahan. Kartini hanya bisa mencurahkan cita-cita perjuangannya dalam bentuk surat. Ia rajin menulis surat kepada temantemannya di Belanda. Isinya mengandung cita-cita yang luhur, terutama untuk mengangkat derajat wanita Indonesia. Berkat surat-surat ini, tahun 1903 didirikan Sekolah Kartini Pertama di Semarang. Dan di usia 25 tahun, R.A Kartini akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Perjuangan R.A Kartini tidak serta merta didapatkan begitu saja, butuh proses dan perjalanan panjang dalam menapakinya. Ketidaksetujuan keluarga ditambah celaan sebagai penentang adat dan tradisi datang selama proses menuju perubahan. Namun R.A Kartini tidak berhenti, ia tetap dengan pendiriannya untuk melawan kebiasaan atau adat yang kuno dan kolot. Ia ingin agar wanita Indonesia setara dengan pria, memiliki hak bukan hanya kewajiban dan juga bisa sejajar dengan wanita-wanita dari Negara lain.
Penjabaran di atas hanya sepenggal dari kisah panjang R.A Kartini semasa hidupnya yang
dikutip dari sebuah buku berjudul R.A Kartini Riwayat dan Perjuangannya. Buku setebal 65 halaman ini mampu menghipnotis pembaca untuk merasakan penasaran akan kisah-kisah R.A Kartini karena penyajiannya yang teratur dan sistematis dimulai dari masa kanak-kanak, masa muda, masa dewasa, perjuangan R.A Kartini dalam mencapai emansipasi wanita, perjuangan dalam bidang pendidikan, dan saat-saat terakhir hingga kemajuan wanita Indonesia sesudah R.A Kartini wafat. Selain itu, disertakan pula gambar yang walaupun hanya sedikit, namun cukup untuk menggambarkan sosok R.A Kartini dan kehidupan pada saat itu. Bahasa yang dipakai mudah dimengerti dan tepat sasaran sehingga cocok untuk dibaca oleh semua kalangan baik tua maupun muda. Karena memang buku ini tidak terlalu tebal, maka dapat dibaca pada waktu luang dan bisa dibawa kemana-mana. Selain itu, di akhir halaman terdapat rangkuman dari isi buku sehingga lebih membantu proses pemahaman jalan cerita dari buku ini.
Bagi para mahasiswa, buku ini cocok untuk menambah referensi bacaan bermutu karena selain kita bisa lebih mengenal dekat sosok R.A Kartini, kita juga bisa mengetahui bagaimana sulitnya perjuangan R.A Kartini saat itu dan sudah seharusnya kita bangga memiliki seorang tokoh seperti R.A Kartini.

Buku karangan R.A. Kartini
"Habis Gelap terbitlah terang"
Diterbitkan oleh Balai Pustaka Djakarta  th.1951
Tebal  188 halaman
Raden Ajeng Kartini
Door Duisternis tot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.

Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli "Max Havelaar" dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa. 
 Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.

Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar